Minggu, 11
November 2012 – 06:03 WIB
- Judul: Ekonomi Gula
- Editor: Bayu Krisnamurthi
- Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
- Tahun Terbit: September 2012
- Jumlah Halaman: 395 halaman
Buku ini memperlihatkan begitu banyak rintangan yang harus dihadapi pemerintah dalam mencapai target swasembada gula tahun 2014.
Swasembada
gula pada 2014 tidak akan tercapai, jika masih mengalami kegagalan pasar pada
industri hulunya. Buku “Ekonomi Gula” yang digagas para penulis yang tergabung
dalam Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) ini menunjukkan adanya oligopoli
yang dilakukan pedagang besar yang jumlahnya terbatas dalam proses penentuan
dan pembentukan harga gula tebu di tingkat petani. Terbatasnya jumlah pedagang
besar menyebabkan bargaining position petani rendah.
Selain
itu, permasalahan yang tidak jauh lebih besar adalah rendahnya hasil rendeman.
Permasalahan ini tidak hanya menunjukkan kerugian petani, melainkan juga
menunjukkan rendahnya produktivitas industri gula.
Siapa
yang paling dirugikan? Tentu saja petani karena di Indonesia produksi tebu
sebagai bahan baku gula dihasilkan dari perkebunan rakyat. Baru kemudian
perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara.
Pada
tahun 2010 perkebunan rakyat meliputi areal seluas 243,513 ribu hektar
(58,09%), perkebunan besar swasta sebesar 115,554 ribu hektar (24,17%), dan
perkebunan negara hanya 76,250 ribu hektar (16,73%). Dengan luas lahan
demikian, perkebunan tebu rakyat menghasilkan 55,13% produksi nasional,
sementara perkebunan besar swasta dan negara masing-masing menghasilkan 44,67%
dan 1,47%.
Dengan
melihat luas lahan dibandingkan produksinya dapat terlihat bahwa produktivitas
yang dimiliki petani rakyat merupakan yang paling rendah. Sementara tingkat
produktivitas paling tinggi dimiliki perkebunan besar swasta.
Fakta
tersebut diungkapkan penulis terjadi di Provinsi Lampung. Demikian halnya yang
terjadi di Jawa Timur, meskipun dengan karakteristik permasalahan yang berbeda.
Swasembada
Gula
Kebutuhan
konsumsi gula nasional pada periode 2003 sampai dengan 2007 rata-rata sebesar
3,4 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri rata-rata hanya 2,1 juta ton.
Kekurangan tersebut selama ini dipenuhi melalui impor.
Meski
sedikit terlambat, target swasembada gula pada 2014 menjadi agenda yang cukup
mendesak. Sebab, jika dibandingkan dengan produktivitas gula negara tropis yang
lain seperti Brazil, Indonesia tertinggal sangat jauh.
Brazil
memiliki produksi gula sebesar 31,3 juta ton pada tahun 2008/2009. Dengan
produktivitas sebesar itu, Brazil mampu melakukan ekspor hingga 70%
produksinya. Jika dilihat dari hasil rendeman tebu, produktivitas di Brazil dan
negara-negara penghasil gula seperti Australia, Thailand, dan Filipina sebesar
12% hingga 14%. Sementara perolehan kadar kandungan gula dalam batang tebu di
Indonesia hanya sebesar 7% hingga 9% saja.
Pada
tahun 2014 pemerintah mencanangkan swasembada gula dengan produksi gula kristal
putih (GKP) 2,95 juta ton dan gula kristal rafinasi (GKP) sebesar 2,74 juta
ton. Apakah angka tersebut realistis dengan kondisi struktur industri gula yang
ada seperti sekarang ini?
Tulisan
hasil penelitian dalam buku “Ekonomi Gula” ini menunjukkan bahwa produksi tebu
rakyat mengalami fluktuasi inefisiensi dalam proses produksinya yang
ditunjukkan dengan derajat signifikansi pengujian sebesar 99%. Rata-rata
tingkat efisiensi produksi tebu rakyat hanya mampu menunjukkan sebesar 21%.
Dengan kata lain produksi aktual baru mencapai 21% dari produksi potensialnya.
Masih
dalam penelitian tersebut, adanya pelaksanaan program akselerasi mampu
meningkatkan tingkat efisiensi produksi tebu rakyat dari 27% mampu meningkat
menjadi 76%.
Pembangunan
Industri Gula
Secara
tidak langsung buku ini merupakan salah satu sumbang saran para akademisi bagi
industri gula. Berbagai tulisan dalam bunga rampai mampu menyajikan ulasan
secara akademis berbasis penelitian. Beberapa tulisan yang telah melalui sortasi
editor Bayu Krisnamurthi juga menunjukkan bagaimana permasalahan industri gula
ini merupakan efek dari political will yang belum berpihak pada petani dan
industri. Hal itu ditunjukkan oleh rendahnya keseriusan untuk merenovasi
pabrik-pabrik gula yang sudah usang ditelan zaman.
Metode
pengkajian yang digunakan dalam penilaian political will itu, salah satunya berdasarkan tiga
pilar, yaitu ikhtiar bersama (collective
actions), kelembagaan (institutions),
ketidaksempurnaan pasar politik (political
market imperfections).
Pilar
pertama merujuk pada tingkatan pembangunan yang melibatkan proses interaksi
seluruh aktor yang terlibat dalam pembangunan ekonomi. Pilar kedua berupa
kelembagaan, suatu norma, sistem nilai, konvensi, aturan main, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis. Relevansi pilar kelembagaan di sini adalah
dalam hal kepentingan ekonomi serta kredibilitas komitmen pemerintah. Adapun
pilar ketiga, merupakan pasar politik yang tidak lain merujuk pada sistem
pemilihan umum dan atau rekrutmen politik pada pejabat publik. Kepedulian para
ahli ekonomi politik adalah tentang sistem informasi dan kredibilitas pemimpin
politik, yang menjadi determinan utama tingkat ketidaksempurnaan pasar politik.
Sumber:
Warta Ekonomi No 20/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar