Pages

Minggu, 08 September 2013

Menapak Jejak Oei Tiong Ham di Kota Semarang



Jumat, 30 Januari 2009 | 01:14 WIB

Dahulu siapa yang tidak mengenal Oei Tiong Ham, "Raja Gula" dari Semarang yang juga sempat digelari "manusia 200 juta gulden"? Setelah lebih dari 80 tahun kematiannya, jejak-jejak Oei Tiong Ham di kota kelahirannya di Semarang terus memudar.

Oei Tiong Ham (1866-1924) memulai usaha setelah mewarisi Kian Gwan, perusahaan milik ayahnya, Oei Tjie Sien, dengan total nilai 17,5 juta gulden. Dia mengembangkan warisan itu sehingga nilainya menjadi sekitar 200 juta gulden, yang membuatnya menjadi orang terkaya seantero koloni Hindia Belanda kala itu.

"Kesuksesan dari Oei Tjie Sien turut menjadi landasan usaha Oei Tiong Ham. Ini sedikit banyak membantu Tiong Ham karena tidak memulai dari nol sama sekali. Apalagi Tiong Ham sebelumnya juga sempat memegang pacht candu," kata arsitek dan pengamat budaya Tionghoa peranakan Widya Widjayanti, Kamis (22/1).

Properti yang diwarisi Oei Tiong Ham dari ayahnya cukup banyak karena Tjie Sien menanamkan uang di sektor properti. Saat itu ada dua istananya yang sangat megah dan terkenal. Istana utama di Gergaji terkenal sangat luas, sedangkan istana yang berada di Simongan dikenal dengan keindahan pemandangannya.

Istana di Gergaji, kini Jalan Kyai Saleh, yang dahulu terkenal dengan Taman Bale Kambang-nya telah berpindah tangan dan menjadi kantor lembaga pendidikan. Kompleks istana yang dahulu seluas 81 hektar, kini tinggal sekitar 8.000 meter persegi tempat bangunan itu berada. Sisanya telah menjadi perkantoran dan permukiman penduduk.


Memprihatinkan

Kediaman Oei di Simongan yang menjadi tempat Oei Tjie Sien menghabiskan hari tuanya, kondisinya memprihatinkan. Lahan seluas 2,75 hektar itu kini dihuni oleh 45 kepala keluarga yang sebagian merupakan keluarga pensiunan tentara. Sebagian atap bangunan utama rusak dan warnanya kusam.

Selain bangunan utama dan rumah istirahat, masih ada bekas-bekas rumah pembantu, ruang penyimpanan makanan, ruang menerima tamu, istal kuda, serta ruang penyimpanan kereta kuda. Di sepanjang lahan menuju ruangan-ruangan itu, masih bisa ditemukan jalan yang dibuat dari batu portugis.

"Tahun 1980-an, ada kolektor dari Salatiga yang menawar berani membeli batu itu seharga Rp 150.000 per keping kalau masih utuh. Namun, kami tolak. Sayang marmer-marmer di semua bangunan sudah habis sebelum kami menempatinya," kata Soetadji (64) yang mulai tinggal di sana sejak tahun 1974.

Menurut pemerhati sejarah Semarang yang juga penulis buku Kota Semarang dalam Kenangan, Jongkie Tio, properti lainnya tersebar di sejumlah wilayah, seperti di Jalan Pandanaran, Jalan Gajahmada yang kini sebagian besar sudah hilang dan berubah fungsi.

"Oei Tiong Ham juga berjasa atas perkembangan Kota Semarang. Usaha propertinya turut membuka perumahan-perumahan di Semarang," kata Jongkie Tio. (Antony Lee)


Sumber:
http://female.kompas.com/read/2009/01/30/01142093/menapak.jejak.oei.tiong.ham.di.kota.semarang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar