Oleh Karim Raslan - Jumat, 08 Februari 2013 | 22:02 WIB
LIEM Soe Liong bukanlah taipan China Indonesia pertama yang usahanya merambah dunia internasional. Langkah go international itu telah ditempuh oleh banyak bisnis keluarga terkemuka lainnya di Indonesia, mulai dari Keluarga Riady hingga Keluarga Widjaja.
Lebih dari satu abad yang lalu, seorang pengusaha Indonesia dari etnis China, Oei Tiong Ham dari Semarang telah mengembangkan jaringan bisnisnya ke luar negeri dengan ambisius. Buku biografi yang ditulis oleh Liem Tjwang Ling "Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang" yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) menggambarkan sosok Oei Tiong Ham dan perjalanan bisnisnya hingga manca negara.
Oei adalah putra dari seorang pebisnis imigran yang berasal dari Tiongkok bernama Oei Tjie Sien yang tersohor-seperti kebanyakan masyarakat Tionghoa di Semarang- berasal dari dar provinsi Fujian dan merupakan pengungsi dari gejolak politik yang melanda kekaisaran Cina pada saat itu. Oei di masa tuanya menyandarkan pondasi kekayaan keluarganya pada perusahaan Kwan Gian yang menggeluti bisnis gula.
Saat itu, merupakan waktu yang sangat tepat. Di pertengahan abad 19, Semarang di bawah pemerintahan kolonial Belanda berkembang menjadi pelabuhan utama dan pusat produksi gula. Adalah Oei Tiong Ham yang mengubah sebuah perusahan keluarga menjadi kerajaan bisnis internasional tersohor yang dikenal dengan nama Oei Tiong Ham Concern (OTHC).
Apakah yang membuatnya begitu sukses hingga menjadi pebisnis dunia? Dalam buku itu dijelaskan, Oei adalah sosok pekerja sangat keras. Ia tidak pernah tidur sebelum jam 12 malam demi semua pekerjaannya. Oei juga dikenal sebagai orang yang "kejam" dalam berbisnis. Daripada membiarkan utang sesama pengusaha gula berlarut-lalrut, ia memilih pergi ke pengadilan dan menuntut para pengusaha tersebut.
Dengan cara ini, Oei Tiong Ham pun akhirnya bisa menguasai lima pabrik gula di Jawa dan menjadi tulang punggung kekayaannya. Oei Tiong Ham juga berani mengadopsi metode-metode baru dalam bisnisnya. Ia tidak terpaku pada cara-cara bisnis konvensional.
Ia lebih memilih mengenakan pakaian ala barat dan memotong kuncirnya (kuncir merupakan identitas Manchu di Cina). Beberapa sumber mengatakan, ia dapat berbicara beberapa bahasa, tidak seperti pengusaha Cina lainnya. Ia juga mempekerjakan orang asing dan non-chinese di perusahaan miliknya. Dalam hal yang lebih substansial, Oei mengadopsi metode akuntansi modern dan tidak malu untuk melakukan yang berbeda, yang keduanya merupakan hal baru bagi para pebisnis China saat itu.
Setelah kemation Oei Tiong Ham pada 1924, OTHC menjadi perusahaan yang usahanya meliputi produksi gula, perdagangan, pengembang properti, perkapalan dan perbankan. Perusahaannya mempunyai cabang-cabang jauh di luar negeri seperti Cina, India, Inggris, Amerika, Brasil, dan banyak lagi.
Pada kenyataannya, Oei dikenal dengan keberhasilannya mengumpulkan 200 juta gulden belanda (mata uang saat itu) dan ayah dari 26 anak dari hasil perkawinan dengan 8 istri.
Tentu saja, semua hal baik pasti berakhir juga. Setelah kematian Oei Tiong Ham, keberuntungan dan bisnis keluarganya mulai terkikis benturan antara anak-anaknya karena konflik warisan. Kemudian, Perang Dunia II memberikan dampak buruk kepada aset OTHC secara signifikan. Beberapa pabrik gula milik OTHC di Jawa harus berakhir menjadi puing-puing bangunan.
Selain itu, OTHC yang dianggap sebagai perusahaan China, kapitalis dan pro-Belanda tidak bisa bertahan lama di masa awal kemerdekaan Indonesia yang dikenal hiper-nasionalistis. Pemerintahan Presiden Soekarno kemudian melakukan nasionalisasi terhadap segala bisnis OTHC yang kemudian menjadi ikon BUMN seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Keluarga Oei Tiong Ham pun terpisah satu sama lainnya. Membaca buku yang ditulis Liem membuat kita mengintip ke dunia yang telah hampir hilang. Buku ini juga mengungkapkan bahwa pengusaha sukses dari era manapun harus berani; berani mengambil risiko dan cepat untuk mengadopsi metode dan tren baru.
Pada awal abad 20, Hindia Belanda merupakan melting pot kosmopolitan dan ini tecermin dalam kehidupan Oei dan juga anak-anaknya. Putri dari Oei Tiong Ham, Oei Hui Lan tumbuh menjadi seorang yang cantik dan terkenal. Dia menikah dengan diplomat China Kuomintang bernama Wellington Koo.
Keluarganya datang jauh dari asal-usul sederhana sebagai pengungsi dari perang di China. Para pengusaha dan manajer cenderung bepikir bahwa mereka adalah seorang inisiator, namun pada kenyataannya mereka lebih sering mengikuti langkah atau kesuksesan orang lain.
Sumber:
Lebih dari satu abad yang lalu, seorang pengusaha Indonesia dari etnis China, Oei Tiong Ham dari Semarang telah mengembangkan jaringan bisnisnya ke luar negeri dengan ambisius. Buku biografi yang ditulis oleh Liem Tjwang Ling "Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang" yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) menggambarkan sosok Oei Tiong Ham dan perjalanan bisnisnya hingga manca negara.
Oei adalah putra dari seorang pebisnis imigran yang berasal dari Tiongkok bernama Oei Tjie Sien yang tersohor-seperti kebanyakan masyarakat Tionghoa di Semarang- berasal dari dar provinsi Fujian dan merupakan pengungsi dari gejolak politik yang melanda kekaisaran Cina pada saat itu. Oei di masa tuanya menyandarkan pondasi kekayaan keluarganya pada perusahaan Kwan Gian yang menggeluti bisnis gula.
Saat itu, merupakan waktu yang sangat tepat. Di pertengahan abad 19, Semarang di bawah pemerintahan kolonial Belanda berkembang menjadi pelabuhan utama dan pusat produksi gula. Adalah Oei Tiong Ham yang mengubah sebuah perusahan keluarga menjadi kerajaan bisnis internasional tersohor yang dikenal dengan nama Oei Tiong Ham Concern (OTHC).
Apakah yang membuatnya begitu sukses hingga menjadi pebisnis dunia? Dalam buku itu dijelaskan, Oei adalah sosok pekerja sangat keras. Ia tidak pernah tidur sebelum jam 12 malam demi semua pekerjaannya. Oei juga dikenal sebagai orang yang "kejam" dalam berbisnis. Daripada membiarkan utang sesama pengusaha gula berlarut-lalrut, ia memilih pergi ke pengadilan dan menuntut para pengusaha tersebut.
Dengan cara ini, Oei Tiong Ham pun akhirnya bisa menguasai lima pabrik gula di Jawa dan menjadi tulang punggung kekayaannya. Oei Tiong Ham juga berani mengadopsi metode-metode baru dalam bisnisnya. Ia tidak terpaku pada cara-cara bisnis konvensional.
Ia lebih memilih mengenakan pakaian ala barat dan memotong kuncirnya (kuncir merupakan identitas Manchu di Cina). Beberapa sumber mengatakan, ia dapat berbicara beberapa bahasa, tidak seperti pengusaha Cina lainnya. Ia juga mempekerjakan orang asing dan non-chinese di perusahaan miliknya. Dalam hal yang lebih substansial, Oei mengadopsi metode akuntansi modern dan tidak malu untuk melakukan yang berbeda, yang keduanya merupakan hal baru bagi para pebisnis China saat itu.
Setelah kemation Oei Tiong Ham pada 1924, OTHC menjadi perusahaan yang usahanya meliputi produksi gula, perdagangan, pengembang properti, perkapalan dan perbankan. Perusahaannya mempunyai cabang-cabang jauh di luar negeri seperti Cina, India, Inggris, Amerika, Brasil, dan banyak lagi.
Pada kenyataannya, Oei dikenal dengan keberhasilannya mengumpulkan 200 juta gulden belanda (mata uang saat itu) dan ayah dari 26 anak dari hasil perkawinan dengan 8 istri.
Tentu saja, semua hal baik pasti berakhir juga. Setelah kematian Oei Tiong Ham, keberuntungan dan bisnis keluarganya mulai terkikis benturan antara anak-anaknya karena konflik warisan. Kemudian, Perang Dunia II memberikan dampak buruk kepada aset OTHC secara signifikan. Beberapa pabrik gula milik OTHC di Jawa harus berakhir menjadi puing-puing bangunan.
Selain itu, OTHC yang dianggap sebagai perusahaan China, kapitalis dan pro-Belanda tidak bisa bertahan lama di masa awal kemerdekaan Indonesia yang dikenal hiper-nasionalistis. Pemerintahan Presiden Soekarno kemudian melakukan nasionalisasi terhadap segala bisnis OTHC yang kemudian menjadi ikon BUMN seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Keluarga Oei Tiong Ham pun terpisah satu sama lainnya. Membaca buku yang ditulis Liem membuat kita mengintip ke dunia yang telah hampir hilang. Buku ini juga mengungkapkan bahwa pengusaha sukses dari era manapun harus berani; berani mengambil risiko dan cepat untuk mengadopsi metode dan tren baru.
Pada awal abad 20, Hindia Belanda merupakan melting pot kosmopolitan dan ini tecermin dalam kehidupan Oei dan juga anak-anaknya. Putri dari Oei Tiong Ham, Oei Hui Lan tumbuh menjadi seorang yang cantik dan terkenal. Dia menikah dengan diplomat China Kuomintang bernama Wellington Koo.
Keluarganya datang jauh dari asal-usul sederhana sebagai pengungsi dari perang di China. Para pengusaha dan manajer cenderung bepikir bahwa mereka adalah seorang inisiator, namun pada kenyataannya mereka lebih sering mengikuti langkah atau kesuksesan orang lain.
Sumber:
http://kolom.kontan.co.id/news/89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar