Pages

Minggu, 08 September 2013

Menperin Terbitkan Beleid Objek Vital Nasional


Oleh Erika Anindita - 


JAKARTA. Keberadaan kawasan industri berperan strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu perlu adanya penetapan kawasan industri sebagai salah satu objek vital nasional (obvitnas). Hal itu diungkapkan oleh Mohamad S. Hidayat, Menteri Perindustrian (Menperin), Rabu (17/7).

Untuk mendukung pelaksanaan itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merevisi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 03 Tahun 2005 menjadi Keputusan Menteri Perindustrian No. 620 Tahun 2012 Tentang Objek Vital Nasional Sektor Industri (obvitnas).

Dalam salinan peraturan yang diterima KONTAN, tercatat ada 48 perusahaan telah ditetapkan sebagai obvitnas sektor industri. Perusahaan-perusahaan ini tersebar mulai dari provinsi Aceh hingga Nusa Tenggara Timur, dengan Jawa Barat dan Jawa Timur mendominasi lokasi sejumlah perusahaan. 

Adapun 14 jenis industri yang ditetapkan sebagai obvitnas, yakni industri bahan baku peledak, dirgantara, garam, gula, kertas, logam, minyak goreng/kelapa sawit, perkapalan, petrokimia, pupuk, semen, telekomunikasi, tepung terigu dan kawasan industri

"Kawasan industri mampu berkontribusi dari sektor ekspor senilai US$ 52 miliar per tahun atau 41% dari nilai total ekspor non migas tahun 2012," jelas Hidayat mengenai peran strategis kawasan industri.

Adapun, nilai investasi Obvitnas mencapai Rp 29,9 triliun untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan US$ 7,06 miliar untuk PMA per tahun.

Jumlah itu setara 60% dari total investasi tahun 2012, dengan penerimaan negara sebesar US$ 938 juta dari PBB, PPN, dan PPh. 

Mengenai kriteria kawasan industri yang saat ini telah beroperasi dengan luas lahan lebih dari 50 Ha, menurut data Kemenperin tahun 2013, terdapat di 74 kawasan dengan 55 kawasan di antaranya berlokasi di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Barat.

“Ada sekitar 23 kawasan industri di Jawa Barat saja dengan total luas 11.861 Ha atau 39,55% dari total luas kawasan industri di Indonesia,” jelas Hidayat. *** 

Sumber:
http://nasional.kontan.co.id/news/menperin-terbitkan-beleid-objek-vital-nasional  

Pemerintah Perlu Lestarikan Sejarah Gula


News > Oase

Penulis: JY -- Selasa, 6 April 2010 | 01:09 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com--Pemerintah perlu melestarikan dan mengabadikan berbagai data, informasi dan benda atau bangunan yang terkait dengan sejarah gula nasional, serta menyusun program pariwisata jejak gula.

"Hal itu mengingat sejarah gula nasional sudah menjadi rujukan bagi perkembangan gula di berbagai negara. Kota Pasuruan (Jawa Timur) bahkan merupakan kiblat penelitian gula internasional. Ahli-ahli gula dunia memulai penelitian dari sana," kata penulis buku "Jejak Gula, Warisan Industri Gula di Jawa" Krisnina Maharani di Jakarta, Senin.

Buku setebal 220 halaman tersebut, diterbitkan dalam rangka 10 tahun Yayasan Warna-Warni yang dipimpin Krisnina Maharani.

Peluncuran buku tersebut secara resmi akan dilakukan pada 11 April 2010 di museum yang dulunya adalah gedung keuangan Belanda bernama Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dan kini menjadi Museum Bank Mandiri.

Krisnina yang juga istri mantan Ketua DPR Akbar Tandjung mengemukakan, ulasan dalam bukunya lebih menitikberatkan pada sisi sosial dan budaya sebagai sejarah penting yang harus dilestarikan. Buku itu sama sekali tidak menyentuh sisi politik dari komoditas gula.

"Saya menyadari gula ini sangat politis dan sejarah sudah menulis hal itu. Namun saya tidak akan menyentuh sisi politik, tetapi lebih sisi sosial-budayanya," kata Krisnina.

Dia mengemukakan, dari hasil penelusurannya di lapangan maupun survei di berbagai obyek dari bukunya, jejak gula nasional mengandung sejarah yang perlu menjadi perhatian untuk dikembangkan.

"Kebetulan saya menyukai sejarah, kita harus bersyukur bahwa jejak gula memiliki peninggalan yang sangat penting. Persoalannya bagaimana kita menempatkan jejak sejarah itu," katanya.

Krisnina yang tepat berusia 50 tahun mengemukakan, berdasarkan penelusuran atas data dan informasi serta survei di lapangan, gula telah memberi sumbangan besar bagi kemakmuran Belanda di masa silam. Karena itu, ahli sejarah perekonomian Belanda Cornelis Fasseur menyatakan "gula adalah gabus yang mengapungkan Nederland".

Meski kemakmuran itu tidak banyak yang bisa dinikmati untuk Tanah Air, tetapi meninggalkan warisan yang tak ternilai. Warisan berharga itu kini sebagian dalam kondisi terbiarkan dan kurang terawat," katanya.

Dia mengusulkan, pemerintah menyusun program pariwisata untuk melestarikan warisan jejak gula. Program wisata itu, misalnya, menyangkut pelestarian "bebanda" atau barang terkait sejarah jejak gula, panorama sekitar daerah penghasil gula serta kuliner.

Buku "Jejak Gula, Warisan Industri Gula di Jawa" mengangkat potensi terpendam dalam narasi ringan dan populer disertai foto peninggalan masa lalu maupun kondisi saat ini. Dari buku ini, tergambar bahwa industri gula pernah menjalankan peran sebagai lokomotif menuju kehidupan modern.

Meski bukan buku sejarah, tetapi buku ini akan mengantar pembaca menjelajahi kisah perjalanan industri gula dari waktu ke waktu, termasuk menjadi penopang keuangan Belanda sebelum depresi ekonomi tahun 1930-an.

Sumber:

Pabrik Gula Faktor Penting Swasembada Gula 2014


Ekonomi > Bisnis & Keuangan

Penulis: Dimasyq Ozal -- Rabu, 8 Agustus 2012 | 10:25 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti di Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Aris Toharisman pesimis target swasembada gula 2014 sebanyak 5,2 juta ton gula per tahun dan produksi tebu 8 ton per hektar bakal tercapai. Menurutnya, keberadaan pabrik gula menjadi faktor penting dalam mendukung swasembada ini.
 
Ia menegaskan, bila tidak ada pabrik gula yang dibangun hingga akhir 2012 ini, maka tidak dapat dpungkiri, swasembada tidak akan mencapai target. "Untuk capai swasembada gula 2014 yang dicanangkan pemerintah pada 2010 lalu tidak mungkin. Karena untuk mencapai itu, perlu dilakukan intensifikasi pabrik gula yang ada dan ekstensifikasi dengan pembangunan 10 pabrik gula baru," ungkapnya di Jakarta, Selasa, (7/8/2012) malam.
 
Ia menjelaskan, untuk pembangunan satu pabrik baru saja, dibutuhkan waktu 2 tahun. Sementara yang terjadi sekarang, Ia melihat belum ada satu pun pabrik dibangun pada pertengahan 2012 ini.
 
Bila mengandalkan 36 perusahaan gula domestik, produksi yang dihasilkan hanya 2,1 juta ton. Butuh 3 juta ton gula lagi untuk memenuhi target pemerintah itu. Selain itu, pemerintah pun harus menyediakan lahan untuk pembangunan pabrik gula baru seluas 350 hektar.
 
Dengan semakin banyaknya pabrik gula yang dibangun, maka akan menumbuhkan semangat petani untuk meningkatkan produktivitas tebunya. Pasalnya kebutuhan tebu dari petani pun bakal meningkat.

Namun yang terjadi sekarang, lanjutnya, produktivitas petani tebu hanya 5 ton per hektar dari target 8 ton per hektare. "Butuh perpanjangan waktu 4 tahun lagi dari 2014 bila memang ingin tercapai," ungkapnya.
 
Ia menambahkan, sekalipun gula masih impor, akan tapi sebaiknya pemerintah tidak perlu lagi impor tebu. Varietes unggul tebu yang dihasilkan peneliti Indonesia masih lebih baik dari yang dihasilkan oleh Thailand maupun Jepang dalam hal kualitas maupun kuantitas yang dihasilkannya.
 
"Toh peneliti gula dari Thailand dan Okinawa Jepang pun kemarin-kemarin ini berkunjung dan belajar ke kita bagaimana menghasilkan varietes tebu unggul yang dihasilkan oleh Indonesia," tutup Aris.
 
Sumber:

Resensi: Masalah Gula, Masalah Political Will


Minggu, 11 November 2012 – 06:03 WIB



  • Judul: Ekonomi Gula
  • Editor: Bayu Krisnamurthi
  • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
  • Tahun Terbit: September 2012
  • Jumlah Halaman: 395 halaman

Buku ini memperlihatkan begitu banyak rintangan yang harus dihadapi pemerintah dalam mencapai target swasembada gula tahun 2014.

Swasembada gula pada 2014 tidak akan tercapai, jika masih mengalami kegagalan pasar pada industri hulunya. Buku “Ekonomi Gula” yang digagas para penulis yang tergabung dalam Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) ini menunjukkan adanya oligopoli yang dilakukan pedagang besar yang jumlahnya terbatas dalam proses penentuan dan pembentukan harga gula tebu di tingkat petani. Terbatasnya jumlah pedagang besar menyebabkan bargaining position petani rendah.

Selain itu, permasalahan yang tidak jauh lebih besar adalah rendahnya hasil rendeman. Permasalahan ini tidak hanya menunjukkan kerugian petani, melainkan juga menunjukkan rendahnya produktivitas industri gula.

Siapa yang paling dirugikan? Tentu saja petani karena di Indonesia produksi tebu sebagai bahan baku gula dihasilkan dari perkebunan rakyat. Baru kemudian perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara.

Pada tahun 2010 perkebunan rakyat meliputi areal seluas 243,513 ribu hektar (58,09%), perkebunan besar swasta sebesar 115,554 ribu hektar (24,17%), dan perkebunan negara hanya 76,250 ribu hektar (16,73%). Dengan luas lahan demikian, perkebunan tebu rakyat menghasilkan 55,13% produksi nasional, sementara perkebunan besar swasta dan negara masing-masing menghasilkan 44,67% dan 1,47%.

Dengan melihat luas lahan dibandingkan produksinya dapat terlihat bahwa produktivitas yang dimiliki petani rakyat merupakan yang paling rendah. Sementara tingkat produktivitas paling tinggi dimiliki perkebunan besar swasta.

Fakta tersebut diungkapkan penulis terjadi di Provinsi Lampung. Demikian halnya yang terjadi di Jawa Timur, meskipun dengan karakteristik permasalahan yang berbeda.


Swasembada Gula

Kebutuhan konsumsi gula nasional pada periode 2003 sampai dengan 2007 rata-rata sebesar 3,4 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri rata-rata hanya 2,1 juta ton. Kekurangan tersebut selama ini dipenuhi melalui impor.

Meski sedikit terlambat, target swasembada gula pada 2014 menjadi agenda yang cukup mendesak. Sebab, jika dibandingkan dengan produktivitas gula negara tropis yang lain seperti Brazil, Indonesia tertinggal sangat jauh.

Brazil memiliki produksi gula sebesar 31,3 juta ton pada tahun 2008/2009. Dengan produktivitas sebesar itu, Brazil mampu melakukan ekspor hingga 70% produksinya. Jika dilihat dari hasil rendeman tebu, produktivitas di Brazil dan negara-negara penghasil gula seperti Australia, Thailand, dan Filipina sebesar 12% hingga 14%. Sementara perolehan kadar kandungan gula dalam batang tebu di Indonesia hanya sebesar 7% hingga 9% saja.

Pada tahun 2014 pemerintah mencanangkan swasembada gula dengan produksi gula kristal putih (GKP) 2,95 juta ton dan gula kristal rafinasi (GKP) sebesar 2,74 juta ton. Apakah angka tersebut realistis dengan kondisi struktur industri gula yang ada seperti sekarang ini?

Tulisan hasil penelitian dalam buku “Ekonomi Gula” ini menunjukkan bahwa produksi tebu rakyat mengalami fluktuasi inefisiensi dalam proses produksinya yang ditunjukkan dengan derajat signifikansi pengujian sebesar 99%. Rata-rata tingkat efisiensi produksi tebu rakyat hanya mampu menunjukkan sebesar 21%. Dengan kata lain produksi aktual baru mencapai 21% dari produksi potensialnya.

Masih dalam penelitian tersebut, adanya pelaksanaan program akselerasi mampu meningkatkan tingkat efisiensi produksi tebu rakyat dari 27% mampu meningkat menjadi 76%.


Pembangunan Industri Gula

Secara tidak langsung buku ini merupakan salah satu sumbang saran para akademisi bagi industri gula. Berbagai tulisan dalam bunga rampai mampu menyajikan ulasan secara akademis berbasis penelitian. Beberapa tulisan yang telah melalui sortasi editor Bayu Krisnamurthi juga menunjukkan bagaimana permasalahan industri gula ini merupakan efek dari political will yang belum berpihak pada petani dan industri. Hal itu ditunjukkan oleh rendahnya keseriusan untuk merenovasi pabrik-pabrik gula yang sudah usang ditelan zaman.

Metode pengkajian yang digunakan dalam penilaian political will itu, salah satunya berdasarkan tiga pilar, yaitu ikhtiar bersama (collective actions), kelembagaan (institutions), ketidaksempurnaan pasar politik (political market imperfections).

Pilar pertama merujuk pada tingkatan pembangunan yang melibatkan proses interaksi seluruh aktor yang terlibat dalam pembangunan ekonomi. Pilar kedua berupa kelembagaan, suatu norma, sistem nilai, konvensi, aturan main, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Relevansi pilar kelembagaan di sini adalah dalam hal kepentingan ekonomi serta kredibilitas komitmen pemerintah. Adapun pilar ketiga, merupakan pasar politik yang tidak lain merujuk pada sistem pemilihan umum dan atau rekrutmen politik pada pejabat publik. Kepedulian para ahli ekonomi politik adalah tentang sistem informasi dan kredibilitas pemimpin politik, yang menjadi determinan utama tingkat ketidaksempurnaan pasar politik.

Jajang Yanuar Habib (redaksi@wartaekonomi.com)
Sumber: Warta Ekonomi No 20/2012

Aset Pabrik Gula Milik Negara


KAMIS, 18 SEPTEMBER 2008 | 18:46 WIB

TEMPO InteraktifCirebon: Gugatan ahli waris Samuel De Meyer yang menyatakan berhak atas sejumlah aset pabrik gula peninggalan Pemerintah Hindia Belanda ditolak majelis hakim Pengadilan Negeri Sumber, Cirebon. Pengadilan yang diketuai Majelis Hakim Sahat PMS itu tidak dihadiri kuasa hukum De Meyer. 

Hakim menyatakan PT Pabrik Gula Rajawali I dan II, PT Perkebunan Negara IX, X dan XI dinyatakan sebagai pemilik sah atas pabrik gula dan lahan serta aset yang ada di atasnya. Putusan ini berdasarkan Undang-undang Nomor 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Hindia Belanda. Hakim juga mengacu pada Undang-undang Nomor 19 tahun 1959 tentang nasionalisasi usaha pertanian milik Belanda. 

Selain itu gugatan ini ditolak karena banyak dokumen yang dijadikan dasar gugatan ternyata palsu. Diantaranya penetapan ahli waris Nomor 08/PPPH/PA Bogor/2000 tanggal 20 Juli 2000 yang ternyata dibantah Pengadilan Agama Bogor. Demikian juga dengan surat penetapan perkara No 203/Pdt/PN Jakpus yang ternyata tidak terkait dengan masalah gugatan tetapi merupakan penetapan untuk Perlindungan Hutagalung. Selain menolak gugatan, Samuel De Meyer juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp 1,792 juta. 

Namun disisi lain majelis hakim menolak gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat dengan nilai kerugian materi sebesar Rp 110 miliar dan kerugian immaterial Rp 115 miliar. 

Usai mendengarkan putusan majelis hakim, puluhan karyawan pabrik gula yang merupakan perwakilan dari lima BUMN langsung sujud syukur dan melakukan doa bersama di halaman pengadilan negeri Sumber, Kabupaten Cirebon. 

Seperti diketahui, gugatan keluarga De Meyer didaftarkan Lukman Hakim Patmawidjaya, anak dari Peter De Meyer (adik Samuel De Meyer) Desember 2007 lalu melalui Zainudin dan Napal Sembiring dari kantor Hukum John Serena Dwikora. Zainudin, saat itu mengatakan, pihaknya sudah mempunyai bukti-bukti berupa verponding (bukti kepemilikan tanah) atas nama Samuel de Meyer yang ternyata tanahnya digunakan sebagian besar oleh pabrik gula tersebut. *** Ivansyah

Sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2008/09/18/058136257/Aset-Pabrik-Gula-Milik-Negara 

Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang


Judul:Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang
Pengarang:Liem Tjwan Ling
ISBN:9789799105271
KPG:901130621
Ukuran:200 x 135 mm
Halaman:304 halaman


Jangan pernah puas menjadi orang yang setengah-setengah saja, bertujuanlah ke puncak. Bila kau bertujuan ke puncak tapi tidak mencapai itu, setidak-tidaknya engkau naik lebih tinggi daripada  engkau tidak pernah bermimpi.” (Oei Tiong Ham)

Oei Tiong Ham merupakan sosok pengusaha sukses dan salah satu orang terkaya di Asia Tenggara pada awal abad ke-20. Di usianya yang ke-24, Oei Tiong Ham telah berhasil menjadikan dirinya pengusaha terkemuka di bidang palawija dan, terutama, gula, hingga dijuluki Raja Gula. Enam belas tahun kemudian, Oei Tiong Ham Concern, usaha yang dipimpinnya, telah menjadi perusahaan multinasional yang menjangkau mulai dari Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Eropa. 

Buku ini tidak hanya menyajikan kehidupan pribadi Oei Tiong Ham, istri, dan putrinya yang kelak menjadi istri duta besar Tiongkok untuk Inggris, Madame Wellington Koo. Perkembangan Oei Tiong Ham Concern yang menggurita dalam waktu singkat dan masa-masa kemundurannya juga dituturkan dengan lugas.  

Liem Tjwan Ling , penulis buku ini, adalah seorang cendekiawan yang menurut Madame Wellington Koo cukup mengenal kepribadian Oei Tiong Ham. “Mr Liem sesungguhnya mengenal kepribadian ayah saya, oleh karenanya, tabiat yang sebenarnya dari ayah saya mendapat kenyataannya dalam karya ini. … Satu hal yang menonjol pada Liem Tjwan Ling yaitu beliau telah menyingkirkan desas-desus dan isu-isu serta macam kata-kata yang mengandung iri hati yang selalu mengitari laki-laki yang berhasil. Juga beliau telah memerlukan menggali fakta-fakta yang sebenarnya dan secara menarik sekali telah disuguhkan olehnya di sini.”

Sumber:
http://www.penerbitkpg.com/bukubaru/detil/901130621/Oei-Tiong-Ham-Raja-Gula-dari-Semarang

Oei Tiong Ham

Oleh Karim Raslan - 


LIEM Soe Liong bukanlah taipan China Indonesia pertama yang usahanya merambah dunia internasional. Langkah go international itu telah ditempuh oleh banyak bisnis keluarga terkemuka lainnya di Indonesia, mulai dari Keluarga Riady hingga Keluarga Widjaja. 

Lebih dari satu abad yang lalu, seorang pengusaha Indonesia dari etnis China, Oei Tiong Ham dari Semarang telah mengembangkan jaringan bisnisnya ke luar negeri dengan ambisius. Buku biografi yang ditulis oleh Liem Tjwang Ling "Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang" yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) menggambarkan sosok Oei Tiong Ham dan perjalanan bisnisnya hingga manca negara. 

Oei adalah putra dari seorang pebisnis imigran yang berasal dari Tiongkok bernama Oei Tjie Sien yang tersohor-seperti kebanyakan masyarakat Tionghoa di Semarang- berasal dari dar provinsi Fujian dan merupakan pengungsi dari gejolak politik yang melanda kekaisaran Cina pada saat itu. Oei di masa tuanya menyandarkan pondasi kekayaan keluarganya pada perusahaan Kwan Gian yang menggeluti bisnis gula. 

Saat itu, merupakan waktu yang sangat tepat. Di pertengahan abad 19, Semarang di bawah pemerintahan kolonial Belanda berkembang menjadi pelabuhan utama dan pusat produksi gula. Adalah Oei Tiong Ham yang mengubah sebuah perusahan keluarga menjadi kerajaan bisnis internasional tersohor yang dikenal dengan nama Oei Tiong Ham Concern (OTHC). 

Apakah yang membuatnya begitu sukses hingga menjadi pebisnis dunia? Dalam buku itu dijelaskan, Oei adalah sosok pekerja sangat keras. Ia tidak pernah tidur sebelum jam 12 malam demi semua pekerjaannya. Oei juga dikenal sebagai orang yang "kejam" dalam berbisnis. Daripada membiarkan utang sesama pengusaha gula berlarut-lalrut, ia memilih pergi ke pengadilan dan menuntut para pengusaha tersebut. 

Dengan cara ini, Oei Tiong Ham pun akhirnya bisa menguasai lima pabrik gula di Jawa dan menjadi tulang punggung kekayaannya. Oei Tiong Ham juga berani mengadopsi metode-metode baru dalam bisnisnya. Ia tidak terpaku pada cara-cara bisnis konvensional. 

Ia lebih memilih mengenakan pakaian ala barat dan memotong kuncirnya (kuncir merupakan identitas Manchu di Cina). Beberapa sumber mengatakan, ia dapat berbicara beberapa bahasa, tidak seperti pengusaha Cina lainnya. Ia juga mempekerjakan orang asing dan non-chinese di perusahaan miliknya. Dalam hal yang lebih substansial, Oei mengadopsi metode akuntansi modern dan tidak malu untuk melakukan yang berbeda, yang keduanya merupakan hal baru bagi para pebisnis China saat itu. 

Setelah kemation Oei Tiong Ham pada 1924, OTHC menjadi perusahaan yang usahanya meliputi produksi gula, perdagangan, pengembang properti, perkapalan dan perbankan. Perusahaannya mempunyai cabang-cabang jauh di luar negeri seperti Cina, India, Inggris, Amerika, Brasil, dan banyak lagi. 

Pada kenyataannya, Oei dikenal dengan keberhasilannya mengumpulkan 200 juta gulden belanda (mata uang saat itu) dan ayah dari 26 anak dari hasil perkawinan dengan 8 istri. 

Tentu saja, semua hal baik pasti berakhir juga. Setelah kematian Oei Tiong Ham, keberuntungan dan bisnis keluarganya mulai terkikis benturan antara anak-anaknya karena konflik warisan. Kemudian, Perang Dunia II memberikan dampak buruk kepada aset OTHC secara signifikan. Beberapa pabrik gula milik OTHC di Jawa harus berakhir menjadi puing-puing bangunan. 

Selain itu, OTHC yang dianggap sebagai perusahaan China, kapitalis dan pro-Belanda tidak bisa bertahan lama di masa awal kemerdekaan Indonesia yang dikenal hiper-nasionalistis. Pemerintahan Presiden Soekarno kemudian melakukan nasionalisasi terhadap segala bisnis OTHC yang kemudian menjadi ikon BUMN seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia. 

Keluarga Oei Tiong Ham pun terpisah satu sama lainnya. Membaca buku yang ditulis Liem membuat kita mengintip ke dunia yang telah hampir hilang. Buku ini juga mengungkapkan bahwa pengusaha sukses dari era manapun harus berani; berani mengambil risiko dan cepat untuk mengadopsi metode dan tren baru. 

Pada awal abad 20, Hindia Belanda merupakan melting pot kosmopolitan dan ini tecermin dalam kehidupan Oei dan juga anak-anaknya. Putri dari Oei Tiong Ham, Oei Hui Lan tumbuh menjadi seorang yang cantik dan terkenal. Dia menikah dengan diplomat China Kuomintang bernama Wellington Koo. 

Keluarganya datang jauh dari asal-usul sederhana sebagai pengungsi dari perang di China. Para pengusaha dan manajer cenderung bepikir bahwa mereka adalah seorang inisiator, namun pada kenyataannya mereka lebih sering mengikuti langkah atau kesuksesan orang lain.

Sumber:
http://kolom.kontan.co.id/news/89


Menapak Jejak Oei Tiong Ham di Kota Semarang



Jumat, 30 Januari 2009 | 01:14 WIB

Dahulu siapa yang tidak mengenal Oei Tiong Ham, "Raja Gula" dari Semarang yang juga sempat digelari "manusia 200 juta gulden"? Setelah lebih dari 80 tahun kematiannya, jejak-jejak Oei Tiong Ham di kota kelahirannya di Semarang terus memudar.

Oei Tiong Ham (1866-1924) memulai usaha setelah mewarisi Kian Gwan, perusahaan milik ayahnya, Oei Tjie Sien, dengan total nilai 17,5 juta gulden. Dia mengembangkan warisan itu sehingga nilainya menjadi sekitar 200 juta gulden, yang membuatnya menjadi orang terkaya seantero koloni Hindia Belanda kala itu.

"Kesuksesan dari Oei Tjie Sien turut menjadi landasan usaha Oei Tiong Ham. Ini sedikit banyak membantu Tiong Ham karena tidak memulai dari nol sama sekali. Apalagi Tiong Ham sebelumnya juga sempat memegang pacht candu," kata arsitek dan pengamat budaya Tionghoa peranakan Widya Widjayanti, Kamis (22/1).

Properti yang diwarisi Oei Tiong Ham dari ayahnya cukup banyak karena Tjie Sien menanamkan uang di sektor properti. Saat itu ada dua istananya yang sangat megah dan terkenal. Istana utama di Gergaji terkenal sangat luas, sedangkan istana yang berada di Simongan dikenal dengan keindahan pemandangannya.

Istana di Gergaji, kini Jalan Kyai Saleh, yang dahulu terkenal dengan Taman Bale Kambang-nya telah berpindah tangan dan menjadi kantor lembaga pendidikan. Kompleks istana yang dahulu seluas 81 hektar, kini tinggal sekitar 8.000 meter persegi tempat bangunan itu berada. Sisanya telah menjadi perkantoran dan permukiman penduduk.


Memprihatinkan

Kediaman Oei di Simongan yang menjadi tempat Oei Tjie Sien menghabiskan hari tuanya, kondisinya memprihatinkan. Lahan seluas 2,75 hektar itu kini dihuni oleh 45 kepala keluarga yang sebagian merupakan keluarga pensiunan tentara. Sebagian atap bangunan utama rusak dan warnanya kusam.

Selain bangunan utama dan rumah istirahat, masih ada bekas-bekas rumah pembantu, ruang penyimpanan makanan, ruang menerima tamu, istal kuda, serta ruang penyimpanan kereta kuda. Di sepanjang lahan menuju ruangan-ruangan itu, masih bisa ditemukan jalan yang dibuat dari batu portugis.

"Tahun 1980-an, ada kolektor dari Salatiga yang menawar berani membeli batu itu seharga Rp 150.000 per keping kalau masih utuh. Namun, kami tolak. Sayang marmer-marmer di semua bangunan sudah habis sebelum kami menempatinya," kata Soetadji (64) yang mulai tinggal di sana sejak tahun 1974.

Menurut pemerhati sejarah Semarang yang juga penulis buku Kota Semarang dalam Kenangan, Jongkie Tio, properti lainnya tersebar di sejumlah wilayah, seperti di Jalan Pandanaran, Jalan Gajahmada yang kini sebagian besar sudah hilang dan berubah fungsi.

"Oei Tiong Ham juga berjasa atas perkembangan Kota Semarang. Usaha propertinya turut membuka perumahan-perumahan di Semarang," kata Jongkie Tio. (Antony Lee)


Sumber:
http://female.kompas.com/read/2009/01/30/01142093/menapak.jejak.oei.tiong.ham.di.kota.semarang.